Pagi2 saya sudah macak nrinthing, pakai jas lengkap, pecis dan sepatu. Ini jelas ndak biasanya. Karena saya faham maqom keayahan saya, levelnya ayah kaos oblong.
Kok pagi ini macak bedo ? Iya karena pagi ini, hari yang istimewa.
Dengan semangat patlima, bareng istri dan anak wedok saya memasuki gerbang gedung pertemuan Wongso Menggolo Klaten.
Langkah tegap, fokus menerobos kerumunan orang, membuat saya terlena. Saya kehilangan istri dan anak wedok. Mana mereka kok ilang ?
Berdiri sendirian di halaman tak jauh dari pintu gerbang saya tingak-tinguk, tolah-toleh nyari2 mana sih ?
Alhamdulillah akhirnya muncul. Dan dan mengagetkan, Karen membawa kejutan. Istri saya muncul dengan sekuntum bunga di tangan. Kok mendadak jadi romantis. Ada apa ini ?
Meski momen ini terjadi setelah statusnya menjadi Mbah Putri, ini ndak apa2, tetap saya syukuri. Berbicara memakai media bunga, ini hal jarang. Paling hanya sales nursery atau orang nyekar ke kuburan waduh ... Orang nyekar.
Eh bunga kok gak segera dikasih ke saya. Bunga tetep dicekethem terus. Aneh ! Mungkin dia lupa kalau dia sedang pegang bunga. Maklum sudah nenek2. Romannya keburu mengering inih
"Buat siapa bunganya ?" tanya saya.
"Buat anak lanang," jawabnya.
"Owalah," bisikku dalam hati.
"Kembang elek ae di tuku," setan memantik kompor dalam hatiku.
"Huuss !"gertak saya.
Akhirnya kami memasuki gedung pertemuan termegah di Klaten itu.
Suasana di dalam lumayan khusu'. Saat fokus mendengar sambutan dari Bupati Klaten, di arah kanan saya berdiri DR Umarul Faruq Abu Bakar, Lc MA. Spontan saya hampiri beliau utk mengucapkan terima kasih, atas pembinaannya selama ini. Beliau adalah salah satu ustadz di pesantren Ibnu Abbas Klaten sekaligus sekretaris pondok.
"Alhamdulillah anak saya lulus dan ikut wisuda ustadz," kata saya berbunga-bunga.
"Alhamdulillah, selamat ya," ucap beliau hangat.
Tiga tahun bukan waktu yang pendek utk menghafal Al-Qur'an. Namun tiga tahun juga bukanlh angka yang cukup untuk mendalaminya. Maka ketika hari ini anak kami bisa menyelesaikan masa nyantri dengan menyelesaikan seluruh targetnya, plus segenap parameter yang lain lalu dinyatakan lulus, maka ini anugerah yang sangat besar bagi kami sekeluarga.
Jazakumullahu khoiron katsiron utk seluruh asatidz asatidzah yang telah dengan telaten nggulo wentah anak kami dengan hati dan keteladanan. Saya membayangkan betapa beratnya pekerjaan ini, wong saya sebagai ayahnya saja saya gak sanggup. Kok para asatidzah yang bukan apa2nya malah sanggup mendidiknya. Astaghfirullah.
Upaya mereka dalam mendidik para santri tentu bukan kerja yang ringan. Para santri adalah anak remaja, yang tentu saja jiwa rewel dan pemberontakannya sedang diujung level tertingginya. Sifat malas, gak disiplin, ngeyel, protes adalah atribut bawaan mereka. Di rumah mereka sering pertontonkan atribut itu. Ayah ibunya sering dibuat pusing karenanya.
Maka dengan sedikit cover niat mulia agar anak2nya kelak menjadi anak yang sholih dan sholihah akhirnya dimasukkan ke pesantren Ibbas ini. Tiga tahun para asatidz asatidzah gulo wentah mereka, dengan segala suka dukanya.
Tiga tahun anak2 bergelut dengan studinya, tahfidznya, ekstrakurikulernya, siyahahnya dan segenap kegiatan lainnya, membuat suka duka mereka naik turun. Ini normal.
Kala kondisi sedang turun inilah yang riskan bagi kemunculan atribut2 negatif di atas. Sifat rewel, ngeyel, malas, protes biasanya gampang muncul di kondisi ini. Tentu para asatidz asatidzah memiliki tips tersendiri menghadapi anak2 di fase darah panas ini.
Pengalaman, dipadu ketelatenan, keikhlasan dan keteladanan perlahan2 anak2 dibuat segera move on. Cuma kabar dukanya kalau kemunculan atribut negatif tersebut sampai melebihi batas ambang pelanggaran, hingga masuk kategori menengah atau berat, ini tentu butuh penanganan lebih. Terlebih lagi kalau orang tua, juga turun tangan turut menangani.
Orang tua turun tangan ?
Bagus dong !
Ya kadang bagus, kadang juga nggak. Tergantung ...
Jika bisa sinergi dengan program pondok hasilnya bagus. Tapi kalau turun tangannya ortu tidak sefrekwensi dengan program pondok, malah bisa memperlambat munculnya move on sang anak.
Karena kadang niat baik dan kecintaan orang tua tidak semua bisa menjadi AC yang menyejukkan ruang hati sang anak, namun malah menjadi kompor yang siap mbleduk. Inilah duka di atas duka.
Saya memahami betul kondisi ini, maka apapun problem yang terjadi pada anak saya selama di pesantren sepenuhnya saya serahkan pada mekanisme pondok untuk menyelesaikannya. Beberapa kali sebagai ayah, saya menerima panggilan atas hal itu. Saya menerima sepnuhnya, sekaligus menyerahkan sepenuhnya mekanisme penyelesaiannya.
Saya mengikhlaskan seluruhnya, karena kekhawatiran tentang kemungkinan ketidakberkahan ilmunya. Saya sangat takut dengan hal ini. Tiga tahun capek menghafal tapi karena kurangnya adab kita kepada guru, ilmu anak2 kita malah gak berkah. Naudzubillahi min dzalik. Keberkahan ilmu adalah terminal bagi perjalanan anak untuk sampai pada keridhoan Allah.
Doa kami semoga Allah memberkahi para asatidz asatidzah, melapangkan mereka jalan menuju surga, aamiin.
🙏🙏🙏
إرسال تعليق