Ngasuh Anak Nggak Kayak Sprint: Belajar Sabar dari Alam

Ngasuh Anak Nggak Kayak Sprint: Belajar Sabar dari Alam

Lo tahu nggak, jadi orang tua itu rasanya kayak marathon dalam cuaca nggak menentu. Kadang terang, kadang badai. Tapi tetap aja lo mesti jalan, karena anak lo nungguin lo di ujung lintasan—bukan buat liat lo menang, tapi buat diajarin caranya bertahan.

Satu hal yang bikin gue tetap waras di tengah semua chaos itu: alam. Iya, alam. Liat aja cara pohon tumbuh—nggak buru-buru, tapi pasti. Nggak ribut, tapi konsisten. Dan dari situ gue sadar, ngasuh anak tuh bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tahan napas panjang.


---

1. Anak Bukan Proyek, Tapi Proses

Di psikologi perkembangan, lo pasti pernah denger soal milestone. Itu titik-titik penting dalam tumbuh kembang anak. Tapi yang sering kelupaan: tiap anak punya kecepatan sendiri. Nggak semua anak jalan umur setahun, ngomong umur dua tahun, atau bisa duduk manis waktu TK. Dan itu normal.

Konsep “developmental readiness” itu penting banget. Artinya, lo harus liat kesiapan anak, bukan maksa dia masuk ke tahapan yang belum saatnya. Kalau lo maksain, malah bisa muncul yang namanya developmental trauma, di mana anak ngerasa gagal atau ditolak karena nggak bisa ngikutin ekspektasi orang tuanya.

Jadi ya, santai aja. Ngasuh anak itu bukan kompetisi siapa cepat, tapi siapa yang bisa nemenin prosesnya.


---

2. Tumbuh Bersama, Bukan Cuma Mendidik

Dalam psikologi positif, dikenal konsep mutual growth—pertumbuhan bersama antara dua pihak. Parenting itu bukan cuma soal anak lo belajar jalan atau ngomong, tapi juga soal lo belajar sabar, belajar ngalah, belajar mengenali batas diri lo.

Gue pernah baca riset soal emotional attunement, yaitu kemampuan lo buat nyambung sama perasaan anak. Ini bukan soal ngerti semua jawaban, tapi soal hadir secara emosional. Lo nggak harus jadi superhero. Lo cukup jadi manusia yang mau dengerin.

Dan lo bakal kaget, ternyata anak juga bisa “ngasuh” lo balik. Lo jadi lebih sadar diri, lebih peka, dan kadang lebih berani nangis—hal yang dulu mungkin lo tahan-tahan.


---

3. Emosi Itu Bukan Musuh, Tapi Kompas

Gue paham, lo bisa kesel kalau anak lo rewel padahal lo udah capek banget. Tapi tau nggak, di psikologi ada yang namanya emotion coaching. Intinya, lo bukan nyuruh anak lo diem, tapi ngajarin mereka ngelola emosi lewat validasi.

Contohnya gini: anak nangis karena lego-nya rusak. Lo bisa bilang, “Kamu sedih ya karena rusak? Wajar kok.” Itu validasi. Setelah itu baru diajak mikir bareng solusinya. Lo bantu dia punya emotional vocabulary—kata-kata buat ngerti perasaannya.

Karena kalau anak terbiasa ditekan emosinya, nanti pas gede mereka bisa kesulitan nyambungin antara perasaan dan tindakan. Ini yang jadi akar dari banyak masalah relasi di masa depan.


---

4. Sabar Itu Latihan Kognitif

Sabar itu bukan bakat. Dalam psikologi, sabar terkait sama executive function—bagian otak yang ngatur kontrol diri, fokus, dan pengambilan keputusan. Artinya, lo bisa ngelatih sabar kayak lo ngelatih otot.

Gimana caranya? Lewat teknik self-regulation. Ambil napas dalam 4 hitungan, tahan 4 hitungan, buang pelan-pelan. Itu sederhana tapi bisa ngebantu lo bikin jeda antara stimulus (anak rewel) dan respon (emosi lo meledak).

Kalau lo merasa masih gampang ke-trigger, berarti sinyal buat evaluasi: lo mungkin lagi kelelahan mental alias parental burnout. Lo perlu isi ulang diri lo dulu sebelum bisa isi ulang emosi anak.


---

5. Pelan Bukan Berarti Lambat, Tapi Mendalam

Di terapi perkembangan anak, dikenal istilah deep learning—belajar yang nggak cuma cepat tapi juga membekas. Dan ini cuma bisa terjadi kalau prosesnya pelan, konsisten, dan disertai keterlibatan emosional.

Sama kayak pohon yang kuat akarnya karena tumbuh pelan, anak juga butuh proses yang stabil buat bisa punya karakter yang kuat. Jadi kalau anak lo butuh waktu lebih lama buat paham aturan, itu bukan berarti lo gagal. Itu artinya otaknya lagi nyusun jembatan pengertian yang lebih dalam.

Dan di situlah sabar lo jadi bahan bakar. Pelukan lo jadi pupuk. Tatapan lo yang tenang jadi matahari. Pelan-pelan, anak lo akan ngerti: dia boleh tumbuh sesuai ritmenya sendiri.


---

Penutup: Menjadi Tanah yang Subur

Ngasuh anak itu nggak instan. Nggak bisa dituntasin lewat satu workshop parenting atau ngikutin akun TikTok yang katanya “parenting modern.” Lo harus jadi tanah yang sabar, bukan siraman kilat. Harus tahan diinjak, digali, bahkan diacak-acak. Tapi dari situ, tumbuh sesuatu yang indah.

Jadi kalau hari ini lo merasa gagal, lelah, atau pengen nyerah—inget, lo lagi jadi tanah. Dan tanah yang paling subur itu, biasanya pernah dilewati badai paling keras.


Post a Comment

أحدث أقدم