Kita sering memaknai kata "perjuangan" dengan dentuman meriam, sorak kemenangan, atau luka-luka yang ditinggalkan medan perang. Kita teringat pada sosok-sosok seperti Cut Nyak Dien: wanita perkasa dari tanah Aceh yang menunggang kuda, mengangkat rencong, dan tak pernah tunduk meski kehilangan suami, anak, bahkan kebebasannya sendiri. Tapi, bagaimana jika perjuangan itu tidak terdengar? Tidak bergema dalam sejarah, tapi diam-diam menyelamatkan hidupmu?
Wanita itu bukan pahlawan nasional. Ia tak punya senjata, tak punya pangkat, tak pula dikenal orang banyak. Tapi ia menyelamatkan sebuah dunia — duniaku. Ia adalah ibuku.
Cut Nyak Dien dan Ibu: Dua Kutub Keteguhan
Cut Nyak Dien berdiri tegak di atas bara kolonialisme. Ia menolak tunduk, bahkan ketika usia menekuk tubuhnya dan penglihatannya kabur. Ia tetap memilih medan perang sebagai tempat beristirahat terakhir. Sementara ibuku, memilih diam di dapur sempit, menolak menyerah pada hidup yang pelan-pelan menyusutkan mimpinya.
Kalau Cut Nyak Dien melawan dengan pekik takbir, ibuku melawan dengan doa lirih selepas subuh. Kalau pahlawan Aceh itu menggenggam rencong, ibuku menggenggam sendok nasi yang patah ujungnya. Jika Cut Nyak Dien melawan kolonialisme luar, ibuku melawan kemiskinan, kesepian, dan kadang—dirinya sendiri.
Mendidik Tanpa Sekolah, Mengajar Tanpa Kelas
Ibuku tak punya gelar. Ia berhenti sekolah kelas 2 SMP karena harus menjaga adik-adiknya. Tapi dari tangannya aku belajar keteguhan. Ia tak pernah baca buku Ki Hadjar Dewantara, tapi ia tahu bahwa anaknya harus bisa lebih tinggi dari atap rumah kami yang nyaris roboh.
Ia menjahit baju tetangga, menyetrika pakaian orang lain, lalu menyisihkan uang demi bisa membelikan buku tulisku yang hanya cukup satu semester. Ia bukan dosen, tapi tiap malam mengajariku membaca—meski matanya sembab karena seharian di bawah matahari. Katanya: "Kalau ibu nggak bisa ngasih warisan, biarlah ibu ngasih ilmu. Itu nggak akan habis."
Cut Nyak Dien berjuang agar bangsanya bebas. Ibuku berjuang agar anaknya merdeka dari kebodohan.
Tangis yang Tidak Masuk Sejarah
Tak ada catatan tentang tangisan ibuku saat ayahku pergi dan tak pernah kembali. Tak ada media yang meliput saat ia menjual cincin kawinnya untuk biaya ujian sekolahku. Tak ada yang mencatat betapa ia menggigit bibir saat harga cabai melonjak tapi dompetnya hanya berisi recehan.
Kalau Cut Nyak Dien menantang api penjajah, ibuku menantang api kompor gas yang hampir meledak karena ia lupa mematikan keran saat sibuk menenangkan adik bayiku yang demam.
Tangisnya tak ditulis buku sejarah. Tapi di balik tirai dapur dan suara kompor yang mendesis, ia menangis diam-diam. Kadang bukan karena lelah, tapi karena takut tak sanggup. Tapi esok paginya, seperti biasa, ia bangun lebih awal dari matahari dan memasak nasi dengan tangan gemetar, seakan tak pernah ada malam yang membuatnya runtuh.
Keteguhan dalam Rutinitas
Kita sering lupa bahwa keteguhan bukan selalu tentang hal besar. Kadang, keteguhan adalah membuat sarapan saat tidak punya selera makan, mencuci baju saat tubuh pegal semua, atau tetap menyapa tetangga dengan senyum meski semalam dihina karena tak bisa bayar arisan.
Ibuku menjalani perang kecil setiap hari. Menghitung harga sayur, menyiasati listrik yang nyaris dicabut, menyembunyikan kesedihannya dengan lelucon murahan agar aku tidak menangis saat bekal sekolah hanya nasi dan garam.
Ia tidak pernah berteriak “Allahu Akbar” di medan perang seperti Cut Nyak Dien. Tapi ia pernah berkata: “Ibu rela nggak makan asal kamu bisa sekolah.” Kalimat itu, bagiku, lebih heroik dari orasi kemerdekaan mana pun.
Perjuangan yang Tak Butuh Pengakuan
Cut Nyak Dien akhirnya ditangkap, diasingkan, lalu meninggal dunia tanpa tahu bahwa namanya akan abadi di buku pelajaran. Tapi ibuku? Ia juga seperti diasingkan — oleh sistem, oleh ekonomi, oleh zaman yang cepat dan tak memberi ruang bagi perempuan biasa. Tapi ia tidak peduli. Ia tidak butuh pengakuan.
Saat aku bilang aku lulus kuliah, ia tidak menangis. Ia hanya berkata, “Alhamdulillah. Akhirnya ibu bisa istirahat.” Dan istirahat yang ia maksud bukan pensiun, bukan liburan. Tapi istirahat dari rasa bersalah kalau anaknya tidak bisa hidup lebih baik dari dirinya.
Ibuku tidak dimakamkan di taman pahlawan. Tapi tiap pagi, saat aku mencium tangannya dan berkata “terima kasih, Bu,” kurasa ia telah menang perang — perang melawan rasa tidak berharga, perang melawan dunia yang tidak adil untuk perempuan sederhana.
Penutup: Bukan Sekadar Ibu, Tapi Pahlawan Tanpa Seragam
Cut Nyak Dien adalah simbol perlawanan yang menggelegar. Ibuku adalah simbol keteguhan yang sunyi. Satu dikenal sejarah karena rencongnya. Satu dikenal hatiku karena kesabarannya.
Sejarah tak akan mencatat jumlah panci yang ia cuci, jumlah hari ia puasa demi anaknya bisa makan, atau malam-malam di mana ia tidur tanpa bantal karena harus mengganjal jendela bocor. Tapi di buku hidupku, namanya tercetak tebal, dengan tinta cinta yang tak akan luntur oleh waktu.
Wanita itu bukan pahlawan nasional. Tapi ia adalah pahlawan dalam hidupku.
Wanita itu, ibuku.
إرسال تعليق